Selasa, 27 Januari 2015

Suatu ketika ada seorang tukang kayu yang sudah cukup tua yang bersiap untuk pensiun bekerja. Ia lalu melaporkan hal itu kepada atasannya bahwa kini sudah saatnya ia menghabiskan waktu bersama keluarga dan menikmati masa-masa senja hidupnya. Ia mungkin akan merindukan saat-saat gajian tapi Ia butuh sekali untuk beristirahat. Anak dan istrinya butuh sekali kehadiran seorang ayah di rumah.

Atasannya sangat menyayangkan keinginan sang tukang kayu. Sebab selama ini dia telah bekerja cukup baik. Sang atasan lalu meminta kepadanya untuk membuat sebuah rumah saja untuk sebuah permintaan pribadi terakhir baginya. Sang tukang kayu mengiyakan. Namun agaknya saat itu bukan waktu yang paling baik untuk meneruskan bekerja. Suasana hati sang tukang terlalu terbawa perasaan ingin cepat selesai. Terburu-buru dan tergesa-gesa, kira-kira begitulah keadaannya saat itu. Ia hanya menyiapkan perkakas dan pekerja seadanya dan membuat rumah itu dari bahan-bahan yang murah dan mudah didapat. Ia melupakan semua bahan-bahan yang berkualitas untuk rumah terakhir yang dibuatnya ini.

Saat tukang kayu itu selesai membangun semuanya, sang atasan datang untung memeriksa dan melihat hasil kerja pegawainya ini. Ia lalu mengajak tukang kayu itu ke pintu depan. Lalu diserahkannya kunci rumah itu kepada si tukang kayu kembali. "Ini adalah rumah buatmu", kata atasannya, "angggaplah, ini hadiah dariku..."

Sang tukang kayu terkejut mendengarnya. Ah, betapa memalukan. Ah, kalau saja dia tahu bahwa bangunan ini adalah untuknya, tentu ia tak akan melakukan semua ini. Ia tentu akan melakukannya dengan hati-hati. Kalau saja sebelumnya sang atasan memberitahukan semua pekerjaan ini, tentu ia akan lakukan yang terbaik.

Teman, begitulah kita. Cerita ini setidaknya adalah sebuah perenungan buat kita. Kita bangun rumah kehidupan kita, waktu demi waktu dan terlalu sering kita menggunakan bahan-bahan yang rentan dan seadanya untuk sebuah masa depan yang kita rancang. Terlalu sering kita yang kerap alpa ini membangun hidup dengan langkah yang ceroboh, tak hati-hati dan tergesa-gesa. Kita juga sering tak memberikan yang terbaik buat hidup kita.

Lalu kita pun akan terkejut dengan apa yang dihasilkan selama ini. Kita harus hidup dalam sebuah "rumah kehidupan" yang telah kita buat sebelumnya. Pengalaman setidaknya menjadi guru yang cerdik, yang memberikan tes di awal pelajaran lalu baru menjelaskannya kemudian. Jika saja kita dapat membangunnya kembali dari awal, tentu kita akan lakukan yang berbeda. Kalau saja kita mengetahuinya lebih dulu tentu hasilnya akan berlainan. Namun sayang, kita tak dapat kembali ke masa lalu. Kita tak dapat merubah nasib yang telah silam. Ah kalau saja...

Teman, kitalah si tukang kayu itu. Setiap saat kita memukulkan pasak dalam tiang-tiang kehidupan ini, menempatkan penampang langit-langit kepala kita dan membuat tembok-tembok dalam jiwa. Ada seseorang yang pernah berkata, Kehidupan adalah sebuah proyek pribadi yang harus di lakukan sendiri. Tingkah, sikap dan perilaku serta pilihan yang kita buat hari ini akan menentukan "rumah kehidupan" apa yang akan kita tempati kelak. Bangunlah rumah itu dengan bijak.

0 komentar:

Posting Komentar

Free Search Engine Submission