Suatu ketika ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk
mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku
dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar
belakang setiap kali dia marah.
Hari pertama anak itu telah
memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah. Lalu secara bertahap
jumlah itu berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan
amarahnya daripada memakukan paku ke pagar.
Akhirnya tibalah hari
dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya
dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini
kepada ayahnya yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku
untuk setiap hari dimana dia tidak marah.
Hari-hari berlalu dan
anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah
tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar. "Hmm, kamu
telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar
ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. "Ketika
kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meninggalkan bekas
seperti lubang ini di hati orang lain.
Kamu dapat menusukkan
pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli
beberapa kali kamu minta maaf luka itu akan tetap ada. DAN luka karena
kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik."
Memang sebuah
permintaan maaf bisa mengobati banyak hal. Namun agaknya kita juga harus
mengingat bahwa semua itu tak akan ada artinya saat kita mengulangi
kesalahan itu kembali.
Cerita ini adalah sebuah tamsil, sebuah
amsal, sebuah ibarat dan sebuah wira-kisah. Berbuat kesalahan memang
wajar namun ia juga mengajarkan menghindarinya adalah hal lain yang bisa
kita lakukan.
Selasa, 27 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar